Mendefinisikan secara “menurut saya” sederhana adalah tidak tampak. Untuk kelas sederhana di akar rumput, bolehlah sementara didifinisikan sebagai tidak tampak (baik oleh mata, oleh panca indera, atau oleh alat apapun juga).
Tapi apa iya, sesederhana itu?. Memang ada sesuatu yang lain, apa ya?. Bagaimana al Qur’an mendefinisikan hal yang ghaib itu?
QS 27:65 Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah“, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.
QS 72:26. (Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.
Kecuali tentunya kepada :
QS 72: 7. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya
Masih ada lagi ayat serupa yang mengkhususkan mengenai “perkara” ghaib.
Jadi menurut saya sih, masalah ghaib itu, kita hanya bisa mengimaninya saja. Kita nggak bisa definisikan, karena kita nggak mengenalnya, nggak bisa mengetahuinya, nggak bisa menebak-nebak apa yang ada dalam masalah itu.
Kalau merujuk pada ayat di atas, ghaib adalah undefinitely - tak terdefinisikan. Dia tidak berada pada dimensi ukuran hukum-hukum alam manusia (artinya tidak bisa didefinisikan dengan ukuran hukum alam). Dan boleh juga mahluk jin itu (musuhmu yang nyata) juga tidak mengetahui hal-hal yang ghaib. Itu emang perkara yang penguasaannya ada pada yang maha Kuasa, maha Pencipta saja.
Jadi kadang kita campur aduk sih, nggak bisa melihat dikondisikan sebagai ghaib, jin juga masuk mahluk ghaib… tapi rasanya sih emang nggak begitu pas dengan apa yang disampaikan al Qur’an perihal perkara ghaib. Boleh juga sih, kalau dijelaskan ghaib berlapis-lapis (tapi kalo nggak ada rujukannya, ya jangan menyimpulkan dulu ya –> iya deh).
Karena Allah menyampaikan bahwa ghaib itu adalah perkara khusus yang tidak seorangpun mengetahui, maka saya lebih suka menyimpulkan bahwa ghaib itu adalah hukum di luar hukum alam. Hukum yang postulat-postulatnya tidak dan tidak bisa didefinisikan menurut aturan-aturan fisika, tidak juga GUT. Menurut saya, akan lebih fair kalau para ulama, orang alim, orang yang dekat sama Allah itu dalam menjelaskan ke ummatnya tidak nambah-nambah atau mengurangi. Terutama nambah-nambah gitu. Jadi kalau Allah sudah bilang, itu urusanKu, yah kita manut saja. Jangan jelas-jelasin lagi, apalagi pakai hadits yang nggak seimbang, atau primary data justru malah diabaikan….
Mereduksi Pengertian Ghaib (gaib).
Lalu, bagaimana dengan JIN, SETAN, GENDERUWO, dan lain-lain.
Boleh jadi juga sih teknologi akan menangkap hal ini, seperti kemampuan anjing untuk melihat mahluk tak kasat mata. jadi artinya, mereka, ada dari tempat yang tersembunyi, tapi jelas bukan mahluk gaib yang ada dalam kriteria ayat. Ngkali gitu.
Ini hanya satu wacana berpikir, bukan berfatwa kok. Diberikan akal untuk dipakai, bukan untuk dibekukan.
Lalu bagaimana kalo ada orang “hebat” yang menjelaskan hal ghaib?. Ya, nggak tahu jua sih, apa dia lebih hebat dari pernyataan QS 72:26 itu.
Usaha-usaha mereduksikan ghaib ke level di bawahnya menjadi :
- Tidak dapat ditangkap oleh panca indera.
- Hanya mata batin dan kesalehan yang bisa membuat kita mengetahui yang gaib.
- Hikmah ghaib.
- Ilmu gaib dan hikmah islam.
- Hanya yang maksum yang bisa mengindera dengan mata batinnya.
- dll.
Menurut saya, adalah usaha-usaha untuk mereduksi pengertian gaib ke tataran bawah. Penjelasan level-level gaib, membuat pengertian dan menimbulkan seolah-olah ada yang mengetahui yang gaib (menurut tingkatannya).
Menurut saya sih, kalau orang beriman, percaya gaib berarti harus percaya “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah“. Artinya juga, jangan golongkan yang tidak disebutkan ghaib sebagai ghaib.
Apa batasannya. Wah, bingung juga nih. Ruh, hari kebangkitan, surga, neraka adalah perkara gaib.
Apakah jin mengetahui hal yang ghaib?. Nggak juga tuh, kalau dia tahu yang ghaib maka tentu dia sudah tahu bahwa Nabi Sulaeman sudah meninggal (QS 34:14). Jin tidak tampak oleh mata manusia. Allah menegasi, jin nggak tahu perkara gaib. Lo, kenapa manusia menurunkan derajat pengertian gaib ke tataran akal?.
Lalu, apakah beda yang ghaib dan yang nyata. Saya sih “lebih suka” -> artinya memahami subjektif, bahwa yang nyata itu bukan hanya pada kondisi pengelihatan panca indera. Yang nyata itu adalah angin, yang tampak oleh mata, hukum gravitasi (siapa yang bisa melihat medan magnet, kecuali sebab akibatnya), atom, deuterium, foton, televisi, acara tv, pidato presiden, suara di balik kamar, black hole, white hole, nebula, supernova, jin, setan, paranormal, dll.
Wah, kalau begitu sampeyan tidak mengakui pendapat para ulama dulu dan sekarang dong, orang-orang shaleh, dan lain sebagainya itu yang telah menjelaskan secara rinci apa itu ghaib.
“Nggeh…nggeh Mas.”
“Kan Allah menyampaikan, manusia kagak bisa mengetahui itu perkara ghaib”. Jadi, kalau mo protes, yo wis ingkari saja ayat itu… Astagfirullah….
Namun, saya sendiri belum paham apa yang dimaksud dengan tidak seorangpun di langit dan bumi yang mengetahui perkara ghaib?.
Tidak seorangpun itu merujuk kemana : manusia dan jin ataukah manusia, jin, malaikat, dan mahluk ciptaan Allah lainnya?
1 komentar:
kecuali Allah memang memberikan ya... itu juga yang saya pegang.. sepintar apapun manusia dalam hal supranatura tetap dia tidak mengetahui seperti apa sebenarnya ghaib itu.. kecuali oleh mitos dan bdaya setempat
Posting Komentar