Dalam QS 2:30 dan 15:28 Allah menyebutkan tentang malaikat. Merujuk kepada pendapat M. Quraish Shihab [6], dalam bahasa Arab kata malā’ikah adalah bentuk jamak dari kata malak.
Ada yang berpendapat bahwa kata malak, terambil dari kata laka atau ma’lakah yang berarti yang “mengutus” atau “perutusan/risalah”. Malaikat adalah “utusan-utusan Tuhan untuk berbagai tugas”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata malak terambil dari kata la’aka yang berarti “menyampaikan sesuatu”. Sehingga malak/malaikat adalah makhluk yang menyampaikan sesuatu dari Allah SWT.
Dalam surah al-Fathir [35]:1 disebutkan bahwa malak atau malaikat mempunyai sayap,
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS 35:1)
Dalam ayat diatas kata ajnihah adalah bentuk jamak dari janah yakni sayap. Misalnya burung, sayap bagi burung memiliki fungsi bagaikan tangan bagi menusia. Menurut M. Quraish Shihab, kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yaitu memang makhluk yang memiliki sayap, walau bentuknya tidak tahu seperti apa. Bisa juga ia dipahami sebagai suatu potensi yang menjadikan ia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ulama Thabhathaba’I menegaskan bahwa inilah yang dimaksud dengan kata “sayap” oleh ayat diatas.
Saya cenderung sepakat dengan pengertian yang digunakan oleh Thabathabai. Pengertian kedua dengan menyebutkan sayap sebagai suatu potensi, dan melihat pada penggunaan potensi itu untuk berpindah tempat atau saya katakan saja bergerak atau berubah keadaan, maka gambaran malaikat lebih mendekati apa yang disebut sebagai suatu entitas yang bersifat energetis. Pengertian energetis ini saya maksudkan sebagai suatu entitas yang tidak berbentuk materi, namun sepenuhnya immaterial atau boleh juga disebut gaib. Makna suatu “potensi” sebenarnya bisa disandingkan dengan pengertian qadar atau ukuran yang sudah tertentu. Dalam bahasa fisika modern, maka hal ini merujuk pada pengertian “kuanta” atau “tercatu” yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana “foton cahaya” yang immaterial menjalar sebagai suatu bongkahan-bongkahan energi gelombang elektromagnetik yang besarnya terkuantifikasi atau tertentu.
Kuantifikasi ini sebenarnya menunjukkan pada pengertian perbedaan tingkat energi atau perbedaan frekuensi. Sehingga, kalau kita sandingkan dengan kalimat selanjutnya dalam ayat diatas “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya” merujuk pada pengertian perubahan-perubahan keadaan dari entitas tersebut yang dapat mengubah-ubah potensinya atau kadarnya, atau frekuensinya. Sehingga kalau dimaknai lebih jauh secara agamis dengan pengertian jasmani dan ruhani, perubahan keadaan demikian masih bisa diterima. Artinya, dengan berubahnya tingkat keadaan atau frekuensi maka malaikat tersebut dapat mengubah bentuk sesuai potensi yang ada padanya.
Pengertian memiliki 2, 3, 4 sayap dan seterusnya sebenarnya bisa dikaitkan dengan pengertian penomoran bilangan kuantum. Dalam teori kuantum, sebuah eksistensi partikel hanya akan dapat dideteksi bila ia memenuhi suatu tingkat keadaan energi yang memenuhi bilangan bulat yaitu bilangan 2,3,4 sampai tidak berhingga, tergantung spektrum dari entitas tersebut. Allah dalam ayat diatas tidak menyebutkan 1 sayap dapat dimengerti sebagai bilangan kuantum 1 yang sejatinya memang menunjukkan tingkat energi minimal dimana suatu entitas menjadi stasioner dan tidak bisa berubah posisi sebelum ada gangguan dari luar. Analoginya seperti bulan yang dengan tetap mengitari bumi, atau bumi mengitari matahari. Dengan penjelasan sains modern, maka beberapa hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang menyebutkan Nabi SAW melukiskan bentuk malaikat Jibril memiliki 500 sayap, dan Az-Zuhri meriwayatkan bahwa malaikat Israfil memiliki 12.000 sayap dapat diuraikan dengan jelas. Jibril dengan 500 sayap merujuk pada pengertian bahwa malaikat Jibril adalah sebuah entitas “foton cahaya” yang memiliki spektrum tingkat keadaan atau potensi atau kadar atau kuanta 500 tingkatan, mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar, atau Jibril mempunyai 500 pita frekuensi. Demikian juga pengertian 12.000 sayap yang dimengerti sebagai malaikat Israfil merujuk pada malaikat atau entitas foton cahaya dengan 12.000 pita frekuensi.
Pengertian malaikat sebagai foton cahaya menjelaskan peran dan fungsi malaikat sebagai utusan Allah yang mempunyai tugas “untuk menyampaikan sesuatu”, khususnya “pengetahuan atau informasi atau wahyu”. Karena foton cahaya adalah gelombang elektromagnetik, dan gelombang elektromagnetik mempunyai peran sebagai penyampai informasi seperti sehari-hari biasa kita mendengar radio atau televisi. Dengan demikian, perbedaan pita frekuensi menunjukan perbedaan tugas dari malaikat seperti disebut oleh Ibnu Asyur seperti halnya kita mengubah frekuensi untuk mengubah stasiun radio yang ingin kita dengar. Sedangkan jangkauan jelajahnya sangat jauh karena gelombang elektromagnetik mempunyai kecepatan cahaya 300.000 km per detik.
Malaikat sebagai foton cahaya atau entitas cahaya seebenarnya tidak pernah disebutkan langsung didalam al-Qur’an, namun dapat jelaskan dengan QS 32:5 yang menyatakan
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” dan juga QS 70:4, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”
Kedua ayat tersebut sebenarnya menjelaskan bagaimana “urusan” dan “malaikat” bergerak secara energetis dengan frekuensi yang sebanding dengan pengertian relativitas waktu kesebandingan sehari=1000 tahun dan sehari=50000 tahun. Jika kesetaraan waktu tersebut diperhitungkan dengan Teori Relativitas Einstein, ternyata baik dengan 1000, 2000, ataupun 50.000 kecepatan urusan tersebut identik dengan kecepatan cahaya 300.000 km per detik. Sehingga apa yang dimaksud malaikat dalam QS 32:5 dan QS 70:4 adalah suatu entitas foton cahaya elektromagnetik atau entitas yang sejenisnya yang mampu menyimpan dan menyampaikan informasi dan menjalar dengan kecepatan cahaya secara tetap. Dalam suatu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad At-Tirmidzi dan Ibn Majjah melalui Aisyah r.a dkatakan bahwa Rasul SAW bersabda,
” Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana dijelaskan kepada kalian.”
Foton cahaya mempunyai frekuensi sekitar 1018-1039 Hertz, sebagai pembanding frekuensi gelombang suara sekitar 20 hingga 2x105 Hertz. Jadi, bagi foton cahaya terdapat suatu pita frekuensi yang sangat lebar yang memungkinkan akomodasi berbagai jenis malaikat sesuai dengan fungsi masing-masing. Dengan frekuensi yang demikian tinggi, tentunya manusia tidak akan mampu menangkapnya dengan sistem inderawinya yang biasa, maupun dengan instrumen elektronik seperti radar. Spektrum frekuensi yang dapat ditangkap oleh inderawi manusia sebenarnya hanya spektrum cahaya tampak, namun spektrum frekuensi cahaya secara umum yang dapat ditangkap oleh instrumen buatan manusia saat ini hanya mencakup kisaran frekuensi 1 Hz sampai 1025 Hz. Yang paling rendah adalah frekuensi radio gelombang panjang yang dipakai pemancar, angkatan udara, navigasi pelayaran, dll., sedangkan yang tertinggi adalah frekuensi sinar gamma. Pada frekuensi dibawah 1 Hz manusia tidak mampu mendeteksinya baik secara alamiah maupun dengan alat, sedangkan pada frekuensi tinggi adalah frekuensi diatas 1025 Hz. Jadi kalau kita gunakan batasan yang bisa dikatakan sudah tidak gaib ini, maka wilayah malaikat mungkin berada di bawah frekuensi 1 Hz atau diatas 1025 Hz. Untuk wilayah frekuensi tinggi boleh jadi itulah wilayah malaikat Jibril, Israfil dan malaikat yang lainnya.
Di alam semesta terdapat dua macam gelombang yang masing-masing membangun alam makro dan alam mikro. Gelombang elektromagnetik membangun alam mikro dari dunia kuantum sampai maujud obyek, sedangkan gelombang gravitasi dengan partikel pembawanya disebut graviton bekerja dalam wilayah makro yaitu membangun gaya gravitasi planet, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Sejauh ini, baik elektromagnetik maupun gravitasi keduanya dibawa oleh partikel-partikel immaterial yang bergerak dan menjalar dengan kecepatan cahaya. Namun, berbeda dengan foton elektromagnetik yang sebagian sudah terdeteksi manusia, maka gelombang gravitasi sejauh ini belum dapat dideteksi karena diduga frekuensinya sangat rendah dengan orde dibawah 1 Hz namun sangat berperanan mengikat planet, bintang, galaksi dan alam semesta seperti wujudnya saat ini. Boleh jadi juga bahwa partikel gaib graviton, yang menggendong gaya gravitasi, termasuk jenis malaikat yang menjaga keseimbangan struktur makro alam semesta. Bahkan ada dugaan lain bahwa gelombang gravitasi ini juga bekerja di wilayah alam mikro yaitu alam atomis, dunia kuantum, sampai berakhir dikegaiban alam jabarut yaitu dengan munculnya hipotesa partikel hipotetik elementer yang sesungguhnya menjadi benang perajut atau superstring dari alam semesta. namun sejauh ini partikel hipotetik tersebut belum dapat terbukti karena diduga jauh lebih kecil dari partikel elementer quark.
Kalau demikian bagaimana Nabi SAW mencitrakan malaikat dengan gambaran sebagai makhluk yang berubah-ubah bentuknya. Sebagai cahaya, maka cahaya atau entitas semacamnya (termasuk diantaranya jin dan iblis) memang mudah melakukan metamorfosis. Contoh gamblang adalah pendaran cahaya pelangi yang menampilkan aneka warna ketika cahaya matahari melewati udara yang embun. Demikian juga ketika cahaya melewati prisma akan berpendar aneka warna. Fenomena demikian di sebut difraksi cahaya atau hamburan. Boleh jadi, pada suatu keadaan ruhaniah tertentu, malaikat Jibril sebagai foton cahaya – tentunya atas kehendak Allah – melewati suatu lapisan udara yang menyebabkan foton berpendaran atau terdifraksi membangun suatu gambaran makhluk bersayap. Atau boleh jadi juga, justru sistem inderawi Nabi SAW dikendalikan atau dipengaruhi oleh foton cahaya sehingga ia melihat suatu gambaran atau bentuk makhluk yang sesuai dengan kondisi ruhaniahnya saat itu.
Mengingat frekuensi malaikat Jibril sangat tinggi, maka sistem inderawi Nabi SAW yang normal sebenarnya nyaris tidak berfungsi. Yang berfungsi adalah sistem inderawi ruhaniahnya yang semakin sensitif dan halus yaitu qolbu. Secara psikologis, kondisi demikian terjadi bila kondisi jasmani berada dalam keadaan tidur dan jaga dan gelombang otak mengalami suatu koherensi dengan frekuensi 40 Hz. Keadaan ruhani demikian disebut keadaan kuantum dimana daya tangkap inderawi normal menjadi terbatas sehingga digambarkan oleh Al Qur’an “Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. (QS 53:17)”. Dan ditegaskan kembali dengan “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.(QS 53:11)”. Artinya penglihatan normal Nabi SAW digantikan dengan penglihatan ruhani. Disini qolbu berperan sebagai sensor yang sangat halus yang mampu menerima respon dari entitas Jibril yang membawa jutaan bit informasi maupun menyampaikannya secara batiniah langsung ke qolbu Nabi SAW. Digambarkan oleh al-Qur’an, “
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang
diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan. (QS 53:4-8)”
“Jibril yang sangat kuat” menunjukkan bagaimana tingkat keadaan energi Jibril saat itu sebagai foton cahaya bahwa ia datang dengan frekuensi sangat tinggi yang diluar ambang batas penglihatan dan pendengaran normal manusia yang juga membawa jutaan bit informasi wahyu. Disebutkan juga “mempunyai akal yang cerdas”, yang dimaksud adalah entitas foton cahaya yang mengikuti aturan atau hukum-hukum alam tertentu yaitu yang sekarang disebut sebagai Teori Kuantum. “Rupanya yang asli” menunjukkan bahwa Jibril mampu melakukan semacam modus perubahan frekuensi yang mandiri (karena adanya kuantifikasi) dari yang tertinggi sampai frekuensi yang masih mampu diterima oleh Nabi SAW sebagai manusia dengan jasad biologis yang terbatas, sehingga terdapat suatu pengertian “dia berada di ufuk yang tinggi” semakin “mendekat dan lebih dekat lagi sehingga berjarak antara dua ujungbusur panah” menunjukkan perubahan jangkauan penjalarannya saat itu untuk menyesuaikan dengan keadaan nabi SAW. Boleh jadi, saat partikel foton cahaya menggetarkan qolbu nabi SAW, bukan sekedar suara yang diterima namun juga visualisasi bentuk Jibril sesuai keadaan ruhani Nabi SAW saat itu. Artinya gambaran malaikat sebenarnya disesuaikan dengan apa yang menjadi prasangka Nabi SAW saat itu.
Dalam banyak riwayat, diceritakan bahwa saat ia menerima wahyu Nabi SAW mendengar suara yang dahsyat. Keadaan demikian dapat dijelaskan karena gelombang yang membawa jutaan bit informasi berupa wahyu dikemas dalam suatu partikel yang membawa gaya elektro lemah yang dapat menggetarkan cairan dopamine yang terletak di belahan kiri bagian atas lobus otak. Sehingga yang terasakan oleh Nabi SAW adalah terdengarnya gaung bunyi lonceng atau gaung kumpulan lebah sebagai gaung ultrasonic atau dengingan ultrasonic yang tidak terdeteksi telinga normal, namun terasakan oleh Nabi sebagai suatu realitas kuantum oleh qolbunya. Oleh karena itu, sekalipun Nabi SAW menutup telinganya, ia masih mendengar suara dahsyat tersebut [82].
Apakah malaikat memang foton cahaya atau partikel-partikel elementer yang melakukan aktivitas interaksi gaya-gaya dalam tatanan kuantum, atomis, maupun obyek? Untuk memastikannya kita akan mengulas perbandingan karakteristik malaikat secara agamis dengan karaketristik partikel-pertikel elementer yang sebagian besar disebut sebagai partikel tidak bermassa alias gaib tersebut.
Dalam bahasa agama, dengan mengambil pengertiannya, para ulama umumnya berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan dari cahaya yang dapat berubah-ubah bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikit pun tidak membangkang. Allah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberikan mereka kemampuan berubah-ubah dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Secara umum para ulama umumnya sepakat bahwa malaikat adalah makhluk Allah yang gaib yang berfungsi sebagai pembawa informasi, mengatur urusan, dan beberapa sifat lainnya antara lain [82]:
• Sifat-sifat malaikat adalah takwa (QS 2:30, 7:206, 40:7, 42:5), patuh (QS 16:49), mulia (QS 21:26-27), cerdas (QS 53:6), bergerak dengan kecepatan tinggi (QS 79:3-4), bersayap (QS 35:1), mampu berubah bentuk atau bermetamorfosis (QS 11:69-70, 19:17, 29:31-33; 3:39-42), tidak durhaka (QS 66:6).
• Tugas-tugas malaikat adalah sebagai utusan kepada hamba yang dikehendaki Allah SWT (QS 16:2, 22:75), mengatur segala urusan (QS 79:5, 97:4), mediator wahyu (QS 2:97, 26:192-194), sebagai aparat pelaksana kekuasaan (QS 69:17).
Secara umum, menurut A. Marconi [82] (dengan sedikit perubahan redaksional) malaikat mengandung matriks arti dan pengertian sebagai suatu esensi makhluk yang ditugaskan untuk penguasaan dan pengendalian yang bebas serta memiliki kemampuan untuk menyampaikan; dengan kata lain suatu mediator bebas yang memiliki medan gaya atau kekuatan sebagai potensinya yang mendasar atau qadar. Dengan demikian, foton cahaya dalam pandangan sains modern memiliki fungsi sebagai pembawa satuan informasi dan mediator interaksi gaya-gaya fundamental elektromagnetis, mempunyai sifat-sifat dan tugas-tugas sebagai berikut :
• Tidak bermuatan listrik, tidak bermassa, bergerak mendekati kecepatan cahaya.
• Tugasnya menjadi pembawa satuan informasi dan menjadi mediator inetraksi antar partikel.
• Mampu melakukan metamorfosis karena adanya hukum fisika kuantum microreversibility entrophy.
Sifat foton yang tidak bermuatan menyebabkan ia tidak berinteraksi dengan gaya elektromagnetik (membangun struktur atom), gaya nuklir lemah, maupun gaya nuklir kuat (membangun inti atom). Sedangkan sifat tidak bermassa menyebabkan ia tidak berinteraksi dengan gaya gravitasi. Gerak foton yang mendekati kecepatan cahaya menjelaskan sifat foton sebagai suatu entitas energetis dengan ukuran yang tertentu atau dengan kuanta tertentu yang besarnya mengikuti aturan kuantum dengan kelipatan bilangan bulat (n=2,3,4…). Dengan demikian, gerakan foton akan disesuaikan dengan paket-paket energinya atau sesuai potensinya. Dengan demikian, kalau kita gunakan uraian foton cahaya dalam bahasa metafora diperoleh gambaran sbb:
Foton adalah suatu makhluk (entitas partikel energetis yang gaib) yang tunduk dan patuh kepada sumber asal (yakni hukum-hukum Teori Kuantum dengan aturan kelipatan bilangan bulat), mampu mengubah diri dengan sementara sesuai medium yang dimasukinya, bergerak dengan kecepatan tinggi mendekati cahaya, berfungsi sebagai mediator dan dapat membawa informasi. Dengan kesimpulan demikian, maka menjadi jelas bahwa antara malaikat dengan foton dan partikel-partikel elementer pembawa informasi lainnya memiliki sifat-sifat dan tugas-tugas yang sama.
Dari persamaan sifat dan tugas ini maka bisa disimpulkan bahwa apa yang dimaksud sebagai Malaikat dalam al-Qur’an identik dengan foton cahaya dan partikel-partikel elementer yang bersifat mediator lainnya dalam pengertian sains modern. Artinya, berbagai informasi yang disampaikan oleh al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW tentang malaikat sebenarnya dapat dijelaskan dengan rasional dan senyatanya memang terjadi seperti yang diungkapkan Nabi SAW. Saat ini sains modern mempunyai beberapa gambaran tentang foton dan partikel elementer lainnya yang bisa disebutkan sebagai mediator energi dan gaya atau sebagai malaikat yaitu :
Graviton yang membangun medan gravitasi planet dan benda bermassa lainnya. Jangkauan interaksi tidak berhingga, namun sangat lemah dengan orde kekuatan relatif sekitar 10-39 (dibandingkan dengan gluon) sehingga sulit dideteksi kendati dampaknya sangat nyata membangun alam semesta makro. Kendati demikian, keberlakuan graviton diduga sampai ke hirarki buih dan gelembung kuantum.
Foton cahaya baik dalam spektrum frekuensi yang bisa teridentifikasi maupun tidak. Foton membantu membangun struktur atom, molekul, zat padat, zat cair; merupakan faktor penting di jagat raya. Jangkauan interaksi tidak berhingga dengan kekuatan relatif 10-2.
Boson yang mengikat proton dan netron membangun komposisi inti atom. Dikenal sebagai partikel pembawa gaya nuklir lemah dengan jangkauan sangat pendek 10-17 m dan kekuatan realtif 10-5.
Meson mengikat nukleon menjadi bentuk inti atomis, dikenal sebagai partikel pembawa gaya nuklir kuat. Partikel yang dipengaruhinya disebut partikel hadron. Jangkauan interaksi 10-15 m kekuatan relatif 1.
Gluon yang mengikat quark menjadi nukleon. Termasuk gaya nuklir kuat, partikel yang dipengaruhi adalah quark dengan kekuatan relatif dan jangkauan sama dengan Meson, kekuatan relatif 1.
Dalam tatanan hirarki yang lebih halus, yaitu buih dan gelembung kuantum, maka sains modern belum mengetahui dengan persis partikel-partikel elementer yang berinteraksi di tatanan tersebut. Dugaan sementara menyebutkan bahwa pada kondisi kuantum paling renik maka yang muncul adalah unifikasi elektromagnetik dan gravitasi dalam gelembung kuantum atau alam Lauh Mahfuz/Qalam.
Menurut Muhammad Abduh yang cenderung menafsirkan secara rasional, ia menegaskan bahwa , “malaikat adalah makhluk-makhluk gaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya, namun harus dipercaya wujudnya.” Ketika menafsirkan ayat ini, Syekh Muhammad Abduh, sebagaimana diuraikan oleh Rasyid Ridha, mengemukakan suatu pendapat yang kontroversial bahwa tidak mustahil, tidak juga ada keberatan akal atau agama, untuk memahami apa yang dinamai malaikat, dinamai oleh orang lain sebagai hukum-hukum alam. Malaikat menurut Muhammad Abduh yang disebutkan sebagai Fal mudab-birati amra dalam QS 79:5 mempunyai tugas sebagai yang mengatur segala urusan. Hal ini diperankan dengan hukum-hukum alam, sehingga tidak ada salahnya memahami malaikat atau dampak dari peranannya yang dipahami manusia sebagai hukum-hukum alam.
Meskipun M. Quraish Shihab nampaknya tidak sepenuhnya sepakat dengan pengertian yang diusulkan Muhammad Abduh, namun beliau sepakat bahwa pengertian malaikat semestinya dipahami sebagai aspek keimanan Islam karena di dalam al-Qur’an tidak ditemukan isyarat lebih dekat atau jauh tentang hal ini. Namun, sebagai suatu keimanan pengertian malaikat harus diyakini dalam pengertian mempercayai wujud malaikat, yakni bahwa mereka mempunyai eksistensi yang diciptakan Allah dan bukan suatu ilusi. Kedua, meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang taat, dengan tugas-tugas tertentu seperti membagikan rezeki, memikul singsahana Ilahi, .mencatat amal, menjadi utusan Allah dan lain-lainnya.
Dengan pendekatan rasional yang digali dari penemuan sains modern yang terbaru, nampaknya memang diperlukan suatu kajian yang lebih nyata bahwa apa yang di maksud malaikat sebenarnya dapat dipahami, baik dengan pemahaman agamis maupun teoritis rasional. Kendati nampaknya saat ini terdapat titik terang mengenai apakah malaikat itu, namun memang masih perlu waktu bahwa senyatanya malaikat adalah suatu ungkapan yang merujuk pada pengertian fundamental dari partikel-partikel elementer yang mampu berinteraksi secara energetis baik di wilayah makro maupun mikro. Namun, hanya Allah lah yang lebih tahu sebenarnya.
Lantas, apa perlunya Allah meminta pendapat malaikat ketika Adam hendak diciptakan? Ibnu Asyur berpendapat bahwa istisyarah atau permintaan pendapat tersebut, dijadikan demikian supaya ia menjadi suatu substansi yang bersamaan dalam wujudnya dengan penciptaan manusia pertama, agar ia menjadi bawaan bagi anak cucunya, karena situasi dan idea-idea yang menyertai wujud sesuatu dapat berbekas dan menyatu antara sesuatu yang wujud itu dengan situasi tersebut. Lebih lanjut, apa yang disampaikan Allah kepada malaikat sebenarnya boleh dikatakan lebih condong kepada suatu penyampaian informasi, yang dimaksudkan agar malaikat memahami bahwa apa yang dibuat Allah adalah suatu makhluk yang memiliki kemampuan lebih baik dibanding malaikat dan Iblis, dengan kemampuan untuk mencapai kesempurnaan yang mencerminkan sifat-sifat atau karakter dari Penciptanya.
Ibaratnya, Adam adalah suatu masterpiece penciptaan, jadi kalau dianalogikan bagaikan seorang pelukis yang sedang membuat lukisan yang paling indah yang secara langsung mencerminkan sifat-sifat dan karakter dari pelukisnya. Hal ini ditegaskan juga kemudian bahwa manusia Adam memiliki kemampuan lebih dalam mengembangkan akal dan pikirannya sebagai suatu kesadaran makhluk yang disempurnakan. Artinya, manusia diajar langsung oleh Tuhan untuk mengenal nama-nama, hukum-hukum, dan tentang dirinya sendiri. Inilah yang membedakan Adam dengan Malaikat dan Iblis. Hanya, terjadi respon yang berbeda-beda ketika malaikat dan Iblis menanggapi kenyataan demikian. Ketika Allah memerintahkan bersujud kepada Adam, malaikat patuh menghormatinya, sedangkan Iblis karena iri, dengki, kebodohan dan kesombongannya menolak perintah Allah. Kutukan dan permusuhan pun muncul, yang sebenarnya merefleksikan dua sifat mendasar dari manusia yaitu potensi baik dan buruk. Kedua potensi inilah yang menyebabkan manusia memiliki suatu kebolehjadian untuk menjadi sempurna, atau ia menjadi sengsara seperti Iblis yang dikutuk. Ia menjadi sempurna bila akal pikiran dan ilmu pengetahuannya mampu menyingkap hubungan antara dirinya, alam semesta dan Penciptanya. Namun, ia akan menjadi terkutuk ketika ia tidak mampu mengenal dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Dalam arti, ia mengisolasikan dirinya dalam belenggu kesombongan dan kebodohan Iblis yang sudah menyesatkannya.
Dramaturgi Manusia, Iblis, Malaikat, Jin dan Setan memperjelas berbagai aspek penciptaan manusia sebagai makhluk yang disempurnakan Allah SWT jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam kesempurnaannya, maka manusia pun diberikan tugas dan kemampuan yang lebih sempurna, khususnya kemampuannya untuk memilah dan memilih, mengambil keputusan, belajar, menghimpun pengetahuan, dan menemukan jalan kembali pada-Nya. Namun, karena esensi penciptaan dirinya yang maujud dari tanah dengan batas-batas biologis yang jelas, maka kebutuhan manusia untuk mempertahankan batas-batas biologisnya menumbuhkan suatu sistem energetis yang berbeda dengan esensi asalnya yang murni yaitu ruh yang menyaksikan Tuhan Yang Esa (QS 7:172).
Dari proses penciptaan inilah kemudian muncul sistem yang labil yang disebut nafs yang dapat diintervensi oleh Iblis dan Jin, dan dapat juga diintervensi oleh malaikat yang patuh. Namun, esensi kesempurnaannya jauh lebih baik ketimbang Malaikat, Iblis, Jin maupun Setan. Esensinya yang paling mulia dan tercerahkan adalah esensi dari limpahan rahmat dan kasih sayang Allah yang maujud sebagai “Bismillahiirrahmaanirrahiim”, yang tidak diketahui oleh Jin dan Malaikat, maka iapun bisa jauh lebih baik dari malaikat dan Iblis. Manusia yang sempurna adalah ia yang menjadi esensi awal mula sebagai bagian dari limpahan Nur Muhammad yang menjadi rahmat bagi seluruh alam dan makhluk yang diciptakan-Nya. Maka manusia yang mampu mencapai kesempurnaan inilah yang akhirnya mampu mengaktualkan pengenalan jatidirinya menuju pengenalan kepada Allah dan menyembah-Nya sebagai totalitas dari makrifatullah-nya sebagai hamba Allah dan Wakil Allah di muka bumi. Anak cucu Adam dan Hawa mestinya seperti itu, ia yang mengenal diri dan mengenal Tuhannya Yang Esa.
Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS 35:1)
Dalam ayat diatas kata ajnihah adalah bentuk jamak dari janah yakni sayap. Misalnya burung, sayap bagi burung memiliki fungsi bagaikan tangan bagi menusia. Menurut M. Quraish Shihab, kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yaitu memang makhluk yang memiliki sayap, walau bentuknya tidak tahu seperti apa. Bisa juga ia dipahami sebagai suatu potensi yang menjadikan ia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ulama Thabhathaba’I menegaskan bahwa inilah yang dimaksud dengan kata “sayap” oleh ayat diatas.
Saya cenderung sepakat dengan pengertian yang digunakan oleh Thabathabai. Pengertian kedua dengan menyebutkan sayap sebagai suatu potensi, dan melihat pada penggunaan potensi itu untuk berpindah tempat atau saya katakan saja bergerak atau berubah keadaan, maka gambaran malaikat lebih mendekati apa yang disebut sebagai suatu entitas yang bersifat energetis. Pengertian energetis ini saya maksudkan sebagai suatu entitas yang tidak berbentuk materi, namun sepenuhnya immaterial atau boleh juga disebut gaib. Makna suatu “potensi” sebenarnya bisa disandingkan dengan pengertian qadar atau ukuran yang sudah tertentu. Dalam bahasa fisika modern, maka hal ini merujuk pada pengertian “kuanta” atau “tercatu” yang digunakan untuk menjelaskan bagaimana “foton cahaya” yang immaterial menjalar sebagai suatu bongkahan-bongkahan energi gelombang elektromagnetik yang besarnya terkuantifikasi atau tertentu.
Kuantifikasi ini sebenarnya menunjukkan pada pengertian perbedaan tingkat energi atau perbedaan frekuensi. Sehingga, kalau kita sandingkan dengan kalimat selanjutnya dalam ayat diatas “Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya” merujuk pada pengertian perubahan-perubahan keadaan dari entitas tersebut yang dapat mengubah-ubah potensinya atau kadarnya, atau frekuensinya. Sehingga kalau dimaknai lebih jauh secara agamis dengan pengertian jasmani dan ruhani, perubahan keadaan demikian masih bisa diterima. Artinya, dengan berubahnya tingkat keadaan atau frekuensi maka malaikat tersebut dapat mengubah bentuk sesuai potensi yang ada padanya.
Pengertian memiliki 2, 3, 4 sayap dan seterusnya sebenarnya bisa dikaitkan dengan pengertian penomoran bilangan kuantum. Dalam teori kuantum, sebuah eksistensi partikel hanya akan dapat dideteksi bila ia memenuhi suatu tingkat keadaan energi yang memenuhi bilangan bulat yaitu bilangan 2,3,4 sampai tidak berhingga, tergantung spektrum dari entitas tersebut. Allah dalam ayat diatas tidak menyebutkan 1 sayap dapat dimengerti sebagai bilangan kuantum 1 yang sejatinya memang menunjukkan tingkat energi minimal dimana suatu entitas menjadi stasioner dan tidak bisa berubah posisi sebelum ada gangguan dari luar. Analoginya seperti bulan yang dengan tetap mengitari bumi, atau bumi mengitari matahari. Dengan penjelasan sains modern, maka beberapa hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang menyebutkan Nabi SAW melukiskan bentuk malaikat Jibril memiliki 500 sayap, dan Az-Zuhri meriwayatkan bahwa malaikat Israfil memiliki 12.000 sayap dapat diuraikan dengan jelas. Jibril dengan 500 sayap merujuk pada pengertian bahwa malaikat Jibril adalah sebuah entitas “foton cahaya” yang memiliki spektrum tingkat keadaan atau potensi atau kadar atau kuanta 500 tingkatan, mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar, atau Jibril mempunyai 500 pita frekuensi. Demikian juga pengertian 12.000 sayap yang dimengerti sebagai malaikat Israfil merujuk pada malaikat atau entitas foton cahaya dengan 12.000 pita frekuensi.
Pengertian malaikat sebagai foton cahaya menjelaskan peran dan fungsi malaikat sebagai utusan Allah yang mempunyai tugas “untuk menyampaikan sesuatu”, khususnya “pengetahuan atau informasi atau wahyu”. Karena foton cahaya adalah gelombang elektromagnetik, dan gelombang elektromagnetik mempunyai peran sebagai penyampai informasi seperti sehari-hari biasa kita mendengar radio atau televisi. Dengan demikian, perbedaan pita frekuensi menunjukan perbedaan tugas dari malaikat seperti disebut oleh Ibnu Asyur seperti halnya kita mengubah frekuensi untuk mengubah stasiun radio yang ingin kita dengar. Sedangkan jangkauan jelajahnya sangat jauh karena gelombang elektromagnetik mempunyai kecepatan cahaya 300.000 km per detik.
Malaikat sebagai foton cahaya atau entitas cahaya seebenarnya tidak pernah disebutkan langsung didalam al-Qur’an, namun dapat jelaskan dengan QS 32:5 yang menyatakan
“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” dan juga QS 70:4, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.”
Kedua ayat tersebut sebenarnya menjelaskan bagaimana “urusan” dan “malaikat” bergerak secara energetis dengan frekuensi yang sebanding dengan pengertian relativitas waktu kesebandingan sehari=1000 tahun dan sehari=50000 tahun. Jika kesetaraan waktu tersebut diperhitungkan dengan Teori Relativitas Einstein, ternyata baik dengan 1000, 2000, ataupun 50.000 kecepatan urusan tersebut identik dengan kecepatan cahaya 300.000 km per detik. Sehingga apa yang dimaksud malaikat dalam QS 32:5 dan QS 70:4 adalah suatu entitas foton cahaya elektromagnetik atau entitas yang sejenisnya yang mampu menyimpan dan menyampaikan informasi dan menjalar dengan kecepatan cahaya secara tetap. Dalam suatu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad At-Tirmidzi dan Ibn Majjah melalui Aisyah r.a dkatakan bahwa Rasul SAW bersabda,
” Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar dan Adam (manusia) sebagaimana dijelaskan kepada kalian.”
Foton cahaya mempunyai frekuensi sekitar 1018-1039 Hertz, sebagai pembanding frekuensi gelombang suara sekitar 20 hingga 2x105 Hertz. Jadi, bagi foton cahaya terdapat suatu pita frekuensi yang sangat lebar yang memungkinkan akomodasi berbagai jenis malaikat sesuai dengan fungsi masing-masing. Dengan frekuensi yang demikian tinggi, tentunya manusia tidak akan mampu menangkapnya dengan sistem inderawinya yang biasa, maupun dengan instrumen elektronik seperti radar. Spektrum frekuensi yang dapat ditangkap oleh inderawi manusia sebenarnya hanya spektrum cahaya tampak, namun spektrum frekuensi cahaya secara umum yang dapat ditangkap oleh instrumen buatan manusia saat ini hanya mencakup kisaran frekuensi 1 Hz sampai 1025 Hz. Yang paling rendah adalah frekuensi radio gelombang panjang yang dipakai pemancar, angkatan udara, navigasi pelayaran, dll., sedangkan yang tertinggi adalah frekuensi sinar gamma. Pada frekuensi dibawah 1 Hz manusia tidak mampu mendeteksinya baik secara alamiah maupun dengan alat, sedangkan pada frekuensi tinggi adalah frekuensi diatas 1025 Hz. Jadi kalau kita gunakan batasan yang bisa dikatakan sudah tidak gaib ini, maka wilayah malaikat mungkin berada di bawah frekuensi 1 Hz atau diatas 1025 Hz. Untuk wilayah frekuensi tinggi boleh jadi itulah wilayah malaikat Jibril, Israfil dan malaikat yang lainnya.
Di alam semesta terdapat dua macam gelombang yang masing-masing membangun alam makro dan alam mikro. Gelombang elektromagnetik membangun alam mikro dari dunia kuantum sampai maujud obyek, sedangkan gelombang gravitasi dengan partikel pembawanya disebut graviton bekerja dalam wilayah makro yaitu membangun gaya gravitasi planet, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi. Sejauh ini, baik elektromagnetik maupun gravitasi keduanya dibawa oleh partikel-partikel immaterial yang bergerak dan menjalar dengan kecepatan cahaya. Namun, berbeda dengan foton elektromagnetik yang sebagian sudah terdeteksi manusia, maka gelombang gravitasi sejauh ini belum dapat dideteksi karena diduga frekuensinya sangat rendah dengan orde dibawah 1 Hz namun sangat berperanan mengikat planet, bintang, galaksi dan alam semesta seperti wujudnya saat ini. Boleh jadi juga bahwa partikel gaib graviton, yang menggendong gaya gravitasi, termasuk jenis malaikat yang menjaga keseimbangan struktur makro alam semesta. Bahkan ada dugaan lain bahwa gelombang gravitasi ini juga bekerja di wilayah alam mikro yaitu alam atomis, dunia kuantum, sampai berakhir dikegaiban alam jabarut yaitu dengan munculnya hipotesa partikel hipotetik elementer yang sesungguhnya menjadi benang perajut atau superstring dari alam semesta. namun sejauh ini partikel hipotetik tersebut belum dapat terbukti karena diduga jauh lebih kecil dari partikel elementer quark.
Kalau demikian bagaimana Nabi SAW mencitrakan malaikat dengan gambaran sebagai makhluk yang berubah-ubah bentuknya. Sebagai cahaya, maka cahaya atau entitas semacamnya (termasuk diantaranya jin dan iblis) memang mudah melakukan metamorfosis. Contoh gamblang adalah pendaran cahaya pelangi yang menampilkan aneka warna ketika cahaya matahari melewati udara yang embun. Demikian juga ketika cahaya melewati prisma akan berpendar aneka warna. Fenomena demikian di sebut difraksi cahaya atau hamburan. Boleh jadi, pada suatu keadaan ruhaniah tertentu, malaikat Jibril sebagai foton cahaya – tentunya atas kehendak Allah – melewati suatu lapisan udara yang menyebabkan foton berpendaran atau terdifraksi membangun suatu gambaran makhluk bersayap. Atau boleh jadi juga, justru sistem inderawi Nabi SAW dikendalikan atau dipengaruhi oleh foton cahaya sehingga ia melihat suatu gambaran atau bentuk makhluk yang sesuai dengan kondisi ruhaniahnya saat itu.
Mengingat frekuensi malaikat Jibril sangat tinggi, maka sistem inderawi Nabi SAW yang normal sebenarnya nyaris tidak berfungsi. Yang berfungsi adalah sistem inderawi ruhaniahnya yang semakin sensitif dan halus yaitu qolbu. Secara psikologis, kondisi demikian terjadi bila kondisi jasmani berada dalam keadaan tidur dan jaga dan gelombang otak mengalami suatu koherensi dengan frekuensi 40 Hz. Keadaan ruhani demikian disebut keadaan kuantum dimana daya tangkap inderawi normal menjadi terbatas sehingga digambarkan oleh Al Qur’an “Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya. (QS 53:17)”. Dan ditegaskan kembali dengan “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.(QS 53:11)”. Artinya penglihatan normal Nabi SAW digantikan dengan penglihatan ruhani. Disini qolbu berperan sebagai sensor yang sangat halus yang mampu menerima respon dari entitas Jibril yang membawa jutaan bit informasi maupun menyampaikannya secara batiniah langsung ke qolbu Nabi SAW. Digambarkan oleh al-Qur’an, “
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang
diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad)
apa yang telah Allah wahyukan. (QS 53:4-8)”
“Jibril yang sangat kuat” menunjukkan bagaimana tingkat keadaan energi Jibril saat itu sebagai foton cahaya bahwa ia datang dengan frekuensi sangat tinggi yang diluar ambang batas penglihatan dan pendengaran normal manusia yang juga membawa jutaan bit informasi wahyu. Disebutkan juga “mempunyai akal yang cerdas”, yang dimaksud adalah entitas foton cahaya yang mengikuti aturan atau hukum-hukum alam tertentu yaitu yang sekarang disebut sebagai Teori Kuantum. “Rupanya yang asli” menunjukkan bahwa Jibril mampu melakukan semacam modus perubahan frekuensi yang mandiri (karena adanya kuantifikasi) dari yang tertinggi sampai frekuensi yang masih mampu diterima oleh Nabi SAW sebagai manusia dengan jasad biologis yang terbatas, sehingga terdapat suatu pengertian “dia berada di ufuk yang tinggi” semakin “mendekat dan lebih dekat lagi sehingga berjarak antara dua ujungbusur panah” menunjukkan perubahan jangkauan penjalarannya saat itu untuk menyesuaikan dengan keadaan nabi SAW. Boleh jadi, saat partikel foton cahaya menggetarkan qolbu nabi SAW, bukan sekedar suara yang diterima namun juga visualisasi bentuk Jibril sesuai keadaan ruhani Nabi SAW saat itu. Artinya gambaran malaikat sebenarnya disesuaikan dengan apa yang menjadi prasangka Nabi SAW saat itu.
Dalam banyak riwayat, diceritakan bahwa saat ia menerima wahyu Nabi SAW mendengar suara yang dahsyat. Keadaan demikian dapat dijelaskan karena gelombang yang membawa jutaan bit informasi berupa wahyu dikemas dalam suatu partikel yang membawa gaya elektro lemah yang dapat menggetarkan cairan dopamine yang terletak di belahan kiri bagian atas lobus otak. Sehingga yang terasakan oleh Nabi SAW adalah terdengarnya gaung bunyi lonceng atau gaung kumpulan lebah sebagai gaung ultrasonic atau dengingan ultrasonic yang tidak terdeteksi telinga normal, namun terasakan oleh Nabi sebagai suatu realitas kuantum oleh qolbunya. Oleh karena itu, sekalipun Nabi SAW menutup telinganya, ia masih mendengar suara dahsyat tersebut [82].
Apakah malaikat memang foton cahaya atau partikel-partikel elementer yang melakukan aktivitas interaksi gaya-gaya dalam tatanan kuantum, atomis, maupun obyek? Untuk memastikannya kita akan mengulas perbandingan karakteristik malaikat secara agamis dengan karaketristik partikel-pertikel elementer yang sebagian besar disebut sebagai partikel tidak bermassa alias gaib tersebut.
Dalam bahasa agama, dengan mengambil pengertiannya, para ulama umumnya berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan dari cahaya yang dapat berubah-ubah bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikit pun tidak membangkang. Allah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, serta memberikan mereka kemampuan berubah-ubah dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat. Secara umum para ulama umumnya sepakat bahwa malaikat adalah makhluk Allah yang gaib yang berfungsi sebagai pembawa informasi, mengatur urusan, dan beberapa sifat lainnya antara lain [82]:
• Sifat-sifat malaikat adalah takwa (QS 2:30, 7:206, 40:7, 42:5), patuh (QS 16:49), mulia (QS 21:26-27), cerdas (QS 53:6), bergerak dengan kecepatan tinggi (QS 79:3-4), bersayap (QS 35:1), mampu berubah bentuk atau bermetamorfosis (QS 11:69-70, 19:17, 29:31-33; 3:39-42), tidak durhaka (QS 66:6).
• Tugas-tugas malaikat adalah sebagai utusan kepada hamba yang dikehendaki Allah SWT (QS 16:2, 22:75), mengatur segala urusan (QS 79:5, 97:4), mediator wahyu (QS 2:97, 26:192-194), sebagai aparat pelaksana kekuasaan (QS 69:17).
Secara umum, menurut A. Marconi [82] (dengan sedikit perubahan redaksional) malaikat mengandung matriks arti dan pengertian sebagai suatu esensi makhluk yang ditugaskan untuk penguasaan dan pengendalian yang bebas serta memiliki kemampuan untuk menyampaikan; dengan kata lain suatu mediator bebas yang memiliki medan gaya atau kekuatan sebagai potensinya yang mendasar atau qadar. Dengan demikian, foton cahaya dalam pandangan sains modern memiliki fungsi sebagai pembawa satuan informasi dan mediator interaksi gaya-gaya fundamental elektromagnetis, mempunyai sifat-sifat dan tugas-tugas sebagai berikut :
• Tidak bermuatan listrik, tidak bermassa, bergerak mendekati kecepatan cahaya.
• Tugasnya menjadi pembawa satuan informasi dan menjadi mediator inetraksi antar partikel.
• Mampu melakukan metamorfosis karena adanya hukum fisika kuantum microreversibility entrophy.
Sifat foton yang tidak bermuatan menyebabkan ia tidak berinteraksi dengan gaya elektromagnetik (membangun struktur atom), gaya nuklir lemah, maupun gaya nuklir kuat (membangun inti atom). Sedangkan sifat tidak bermassa menyebabkan ia tidak berinteraksi dengan gaya gravitasi. Gerak foton yang mendekati kecepatan cahaya menjelaskan sifat foton sebagai suatu entitas energetis dengan ukuran yang tertentu atau dengan kuanta tertentu yang besarnya mengikuti aturan kuantum dengan kelipatan bilangan bulat (n=2,3,4…). Dengan demikian, gerakan foton akan disesuaikan dengan paket-paket energinya atau sesuai potensinya. Dengan demikian, kalau kita gunakan uraian foton cahaya dalam bahasa metafora diperoleh gambaran sbb:
Foton adalah suatu makhluk (entitas partikel energetis yang gaib) yang tunduk dan patuh kepada sumber asal (yakni hukum-hukum Teori Kuantum dengan aturan kelipatan bilangan bulat), mampu mengubah diri dengan sementara sesuai medium yang dimasukinya, bergerak dengan kecepatan tinggi mendekati cahaya, berfungsi sebagai mediator dan dapat membawa informasi. Dengan kesimpulan demikian, maka menjadi jelas bahwa antara malaikat dengan foton dan partikel-partikel elementer pembawa informasi lainnya memiliki sifat-sifat dan tugas-tugas yang sama.
Dari persamaan sifat dan tugas ini maka bisa disimpulkan bahwa apa yang dimaksud sebagai Malaikat dalam al-Qur’an identik dengan foton cahaya dan partikel-partikel elementer yang bersifat mediator lainnya dalam pengertian sains modern. Artinya, berbagai informasi yang disampaikan oleh al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW tentang malaikat sebenarnya dapat dijelaskan dengan rasional dan senyatanya memang terjadi seperti yang diungkapkan Nabi SAW. Saat ini sains modern mempunyai beberapa gambaran tentang foton dan partikel elementer lainnya yang bisa disebutkan sebagai mediator energi dan gaya atau sebagai malaikat yaitu :
Graviton yang membangun medan gravitasi planet dan benda bermassa lainnya. Jangkauan interaksi tidak berhingga, namun sangat lemah dengan orde kekuatan relatif sekitar 10-39 (dibandingkan dengan gluon) sehingga sulit dideteksi kendati dampaknya sangat nyata membangun alam semesta makro. Kendati demikian, keberlakuan graviton diduga sampai ke hirarki buih dan gelembung kuantum.
Foton cahaya baik dalam spektrum frekuensi yang bisa teridentifikasi maupun tidak. Foton membantu membangun struktur atom, molekul, zat padat, zat cair; merupakan faktor penting di jagat raya. Jangkauan interaksi tidak berhingga dengan kekuatan relatif 10-2.
Boson yang mengikat proton dan netron membangun komposisi inti atom. Dikenal sebagai partikel pembawa gaya nuklir lemah dengan jangkauan sangat pendek 10-17 m dan kekuatan realtif 10-5.
Meson mengikat nukleon menjadi bentuk inti atomis, dikenal sebagai partikel pembawa gaya nuklir kuat. Partikel yang dipengaruhinya disebut partikel hadron. Jangkauan interaksi 10-15 m kekuatan relatif 1.
Gluon yang mengikat quark menjadi nukleon. Termasuk gaya nuklir kuat, partikel yang dipengaruhi adalah quark dengan kekuatan relatif dan jangkauan sama dengan Meson, kekuatan relatif 1.
Dalam tatanan hirarki yang lebih halus, yaitu buih dan gelembung kuantum, maka sains modern belum mengetahui dengan persis partikel-partikel elementer yang berinteraksi di tatanan tersebut. Dugaan sementara menyebutkan bahwa pada kondisi kuantum paling renik maka yang muncul adalah unifikasi elektromagnetik dan gravitasi dalam gelembung kuantum atau alam Lauh Mahfuz/Qalam.
Menurut Muhammad Abduh yang cenderung menafsirkan secara rasional, ia menegaskan bahwa , “malaikat adalah makhluk-makhluk gaib yang tidak dapat diketahui hakikatnya, namun harus dipercaya wujudnya.” Ketika menafsirkan ayat ini, Syekh Muhammad Abduh, sebagaimana diuraikan oleh Rasyid Ridha, mengemukakan suatu pendapat yang kontroversial bahwa tidak mustahil, tidak juga ada keberatan akal atau agama, untuk memahami apa yang dinamai malaikat, dinamai oleh orang lain sebagai hukum-hukum alam. Malaikat menurut Muhammad Abduh yang disebutkan sebagai Fal mudab-birati amra dalam QS 79:5 mempunyai tugas sebagai yang mengatur segala urusan. Hal ini diperankan dengan hukum-hukum alam, sehingga tidak ada salahnya memahami malaikat atau dampak dari peranannya yang dipahami manusia sebagai hukum-hukum alam.
Meskipun M. Quraish Shihab nampaknya tidak sepenuhnya sepakat dengan pengertian yang diusulkan Muhammad Abduh, namun beliau sepakat bahwa pengertian malaikat semestinya dipahami sebagai aspek keimanan Islam karena di dalam al-Qur’an tidak ditemukan isyarat lebih dekat atau jauh tentang hal ini. Namun, sebagai suatu keimanan pengertian malaikat harus diyakini dalam pengertian mempercayai wujud malaikat, yakni bahwa mereka mempunyai eksistensi yang diciptakan Allah dan bukan suatu ilusi. Kedua, meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba Allah yang taat, dengan tugas-tugas tertentu seperti membagikan rezeki, memikul singsahana Ilahi, .mencatat amal, menjadi utusan Allah dan lain-lainnya.
Dengan pendekatan rasional yang digali dari penemuan sains modern yang terbaru, nampaknya memang diperlukan suatu kajian yang lebih nyata bahwa apa yang di maksud malaikat sebenarnya dapat dipahami, baik dengan pemahaman agamis maupun teoritis rasional. Kendati nampaknya saat ini terdapat titik terang mengenai apakah malaikat itu, namun memang masih perlu waktu bahwa senyatanya malaikat adalah suatu ungkapan yang merujuk pada pengertian fundamental dari partikel-partikel elementer yang mampu berinteraksi secara energetis baik di wilayah makro maupun mikro. Namun, hanya Allah lah yang lebih tahu sebenarnya.
Lantas, apa perlunya Allah meminta pendapat malaikat ketika Adam hendak diciptakan? Ibnu Asyur berpendapat bahwa istisyarah atau permintaan pendapat tersebut, dijadikan demikian supaya ia menjadi suatu substansi yang bersamaan dalam wujudnya dengan penciptaan manusia pertama, agar ia menjadi bawaan bagi anak cucunya, karena situasi dan idea-idea yang menyertai wujud sesuatu dapat berbekas dan menyatu antara sesuatu yang wujud itu dengan situasi tersebut. Lebih lanjut, apa yang disampaikan Allah kepada malaikat sebenarnya boleh dikatakan lebih condong kepada suatu penyampaian informasi, yang dimaksudkan agar malaikat memahami bahwa apa yang dibuat Allah adalah suatu makhluk yang memiliki kemampuan lebih baik dibanding malaikat dan Iblis, dengan kemampuan untuk mencapai kesempurnaan yang mencerminkan sifat-sifat atau karakter dari Penciptanya.
Ibaratnya, Adam adalah suatu masterpiece penciptaan, jadi kalau dianalogikan bagaikan seorang pelukis yang sedang membuat lukisan yang paling indah yang secara langsung mencerminkan sifat-sifat dan karakter dari pelukisnya. Hal ini ditegaskan juga kemudian bahwa manusia Adam memiliki kemampuan lebih dalam mengembangkan akal dan pikirannya sebagai suatu kesadaran makhluk yang disempurnakan. Artinya, manusia diajar langsung oleh Tuhan untuk mengenal nama-nama, hukum-hukum, dan tentang dirinya sendiri. Inilah yang membedakan Adam dengan Malaikat dan Iblis. Hanya, terjadi respon yang berbeda-beda ketika malaikat dan Iblis menanggapi kenyataan demikian. Ketika Allah memerintahkan bersujud kepada Adam, malaikat patuh menghormatinya, sedangkan Iblis karena iri, dengki, kebodohan dan kesombongannya menolak perintah Allah. Kutukan dan permusuhan pun muncul, yang sebenarnya merefleksikan dua sifat mendasar dari manusia yaitu potensi baik dan buruk. Kedua potensi inilah yang menyebabkan manusia memiliki suatu kebolehjadian untuk menjadi sempurna, atau ia menjadi sengsara seperti Iblis yang dikutuk. Ia menjadi sempurna bila akal pikiran dan ilmu pengetahuannya mampu menyingkap hubungan antara dirinya, alam semesta dan Penciptanya. Namun, ia akan menjadi terkutuk ketika ia tidak mampu mengenal dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhannya. Dalam arti, ia mengisolasikan dirinya dalam belenggu kesombongan dan kebodohan Iblis yang sudah menyesatkannya.
Dramaturgi Manusia, Iblis, Malaikat, Jin dan Setan memperjelas berbagai aspek penciptaan manusia sebagai makhluk yang disempurnakan Allah SWT jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam kesempurnaannya, maka manusia pun diberikan tugas dan kemampuan yang lebih sempurna, khususnya kemampuannya untuk memilah dan memilih, mengambil keputusan, belajar, menghimpun pengetahuan, dan menemukan jalan kembali pada-Nya. Namun, karena esensi penciptaan dirinya yang maujud dari tanah dengan batas-batas biologis yang jelas, maka kebutuhan manusia untuk mempertahankan batas-batas biologisnya menumbuhkan suatu sistem energetis yang berbeda dengan esensi asalnya yang murni yaitu ruh yang menyaksikan Tuhan Yang Esa (QS 7:172).
Dari proses penciptaan inilah kemudian muncul sistem yang labil yang disebut nafs yang dapat diintervensi oleh Iblis dan Jin, dan dapat juga diintervensi oleh malaikat yang patuh. Namun, esensi kesempurnaannya jauh lebih baik ketimbang Malaikat, Iblis, Jin maupun Setan. Esensinya yang paling mulia dan tercerahkan adalah esensi dari limpahan rahmat dan kasih sayang Allah yang maujud sebagai “Bismillahiirrahmaanirrahiim”, yang tidak diketahui oleh Jin dan Malaikat, maka iapun bisa jauh lebih baik dari malaikat dan Iblis. Manusia yang sempurna adalah ia yang menjadi esensi awal mula sebagai bagian dari limpahan Nur Muhammad yang menjadi rahmat bagi seluruh alam dan makhluk yang diciptakan-Nya. Maka manusia yang mampu mencapai kesempurnaan inilah yang akhirnya mampu mengaktualkan pengenalan jatidirinya menuju pengenalan kepada Allah dan menyembah-Nya sebagai totalitas dari makrifatullah-nya sebagai hamba Allah dan Wakil Allah di muka bumi. Anak cucu Adam dan Hawa mestinya seperti itu, ia yang mengenal diri dan mengenal Tuhannya Yang Esa.
0 komentar:
Posting Komentar