Rabu, 16 Juni 2010

Hipnotis dan Agama, Bertentangan Kah?

Nah, pembaca, “Apa sih hubungan antara agama dan hipnosis?”


Sebelumnya, saya akan menjelaskan terlebih dahulu definisi hipnosis. Biar kita ada dasar pijakan berpikir yang sama. Ada banyak definisi yang diberikan oleh masing-masing pakar. Namun definisi yang paling banyak digunakan saat ini, yang merupakan definisi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika yaitu “Hypnosis is the bypass of the critical factor of conscious mind and the establishment of the acceptable selective thinking” atau Hipnosis adalah penembusan faktor kritis pikiran sadar dan diterimanya pemikiran tertentu.

Definisi di atas sama sekali tidak menyinggung “ilmu” atau “kekuatan” yang ditakutkan oleh kebanyakan orang. Jadi, hipnosis sebenarnya sangat sederhana. Saat terjadi penembusan critical factor dan diterimanya suatu pemikiran tertentu maka pada saat itu telah terjadi hipnosis.

Ada juga yang mengatakan bahwa hipnosis itu sama dengan tidur. Inipun tidak tepat. Memang, saat seseorang dalam kondisi hipnosis maka ia akan tampak seperti orang tidur. Namun aktivitas mental yang terjadi sangat berbeda.

Kata “hypnosis” pertama kali digunakan oleh James Braid pada tahun 1842 . Kata ini berasal dari bahasa Yunani, Hypnos, yang sebenarnya adalah nama dewa tidur. James Braid semula berpikir hipnosis sama dengan tidur. Namun setelah ia memahami dengan benar bahwa kondisi hipnosis tidak sama dengan tidur, saat ia menyadari bahwa justru dalam kondisi hipnosis seseorang akan sangat fokus pada satu ide atau pemikiran, pada tahun 1847 ia mencoba mengganti kata hypnosis dengan mono-ideaism. Namun istilah hypnosis telah terlanjur populer dan terus digunakan hingga saat ini.

Jadi, tidak benar jika saat dalam kondisi hipnosis pikiran seseorang bisa dikuasai, ditaklukkan, atau tidak sadar. Justru dalam kondisi hipnosis pikiran seseorang menjadi sangat fokus dengan intensitas yang sangat tinggi.
Setiap upaya masuk ke kondisi hipnosis, baik itu waking hypnosis, self hypnosis, atau hetero-hypnosis, pasti mempunyai tiga komponen. Pertama, orang yang melakukan hipnosis harus mempunyai otoritas, atau paling tidak dipandang sebagai figur otoritas di bidangnya. Ini adalah langkah awal untuk menembus atau membuka celah di critical factor pikiran sadar. Setelah berhasil, dibutuhkan komponen kedua untuk membuat critical factor bersedia menerima informasi yang akan disampaikan. Critical factor akan bertanya, “Mengapa ini bisa bekerja?” Untuk bisa membuat critical factor “puas” maka digunakan salah satu dari tiga otoritas informasi berikut, yaitu doktrin, paradigma (teori atau model) dan trans-logic. Setelah itu baru komponen ketiga digunakan yaitu message unit overload atau membanjiri pikiran dengan sangat banyak unit informasi sehingga pikiran menjadi overload. Saat terjadi overload maka secara alamiah kita masuk dalam mode fight (lawan) atau flight (lari). Jika subjek melakukan fight (melawan) maka ia tidak bisa masuk ke kondisi hipnosis. Saat subjek memutuskan untuk flight (lari) maka saat itu ia akan “masuk” ke dalam pikirannya, melarikan diri dari serbuan unit informasi yang begitu banyak, dan ia masuk ke kondisi hipnosis.

Kondisi hipnosis adalah kondisi alamiah pikiran manusia. Nggak percaya? Pernahkah anda saat mencari sesuatu, katakanlah kunci motor anda, sudah anda cari ke mana-mana tapi tetap nggak ketemu. Padahal kunci motor itu tepat berada di depan anda? Pasti pernah mengalami hal seperti ini, kan?

Tahukah anda apa yang terjadi? Yang terjadi adalah anda mengalami negative visual hallucination. Benda yang dicari ada namun anda tidak bisa melihatnya. Dan tahukah anda bahwa saat anda mengalami hal ini, anda sebenarnya berada dalam kondisi very deep trance. Jika menggunakan Davis Husband Scale, dari 30 level kedalaman trance, anda berada di level 29. Ck…ck…ck… luar biasa.

Atau anda mungkin pernah, saat mandi, tiba-tiba merasakan perih di lutut anda. Setelah anda lihat ternyata lutut anda lecet tergores sesuatu. Mengapa baru saat mandi anda merasakannya? Mengapa saat terluka anda sama sekali tidak merasakannya?

Jawabannya sederhana sekali. Saat lutut anda tergores atau terluka pikiran ada sedang sangat fokus pada sesuatu. Saat itu anda sedang dalam kondisi hipnosis yang dalam. Terjadi pain blocking. Anda tidak merasakan sakit sama sekali. Fenomena ini, bila kita tahu caranya, tentunya dengan kondisi hipnosis, dapat dengan sangat mudah diciptakan. Jadi, tidak ada yang aneh atau mistik dalam hal ini.

Atau mungkin anda pernah sedang membaca buku atau nonton tv, saking asyiknya (baca: fokus), anda tidak mendengar saat dipanggil oleh kawan anda. Ini juga contoh kondisi deep hypnosis.

Nah, kembali ke diskusi kita mengenai hubungan agama dan hipnosis. Dengan mengacu pada definisi hipnosis, dan beberapa keterangan tambahan yang telah saya sampaikan di atas maka anda kini sadar bahwa sebenarnya semua, saya ulangi semua, agama sebenarnya telah menggunakan hipnosis untuk memengaruhi umatnya.

Mari kita lihat praktik atau ritual agama. Kita mulai dengan bentuk bangunan ibadah. Bagaimana bentuknya? Pasti berdiri tegak, besar, dan megah. Lalu, saat kita berada di dalam bangunan ini, bagaimana bentuk dan ketinggian plafon? Apakah rendah ataukah (sangat) tinggi dan megah? Sudah tentu plafonnya tinggi dan megah.

Apa tujuan atau efeknya terhadap diri kita?

Kita, secara sadar atau tidak, akan merasa kecil. Merasa tidak ada apa-apanya. Otoritas gedung ini, ditambah lagi kita tahu bahwa ini adalah tempat ibadah, membuat kita “takluk” dan “pasrah”. Lalu bagaimana dengan pemuka agama yang menyampaikan “pesan”? Dari mana mereka menyampaikan “pesan” mereka? Apakah mereka berdiri sejajar dengan umat ataukah lebih tinggi?

Sudah tentu lebih tinggi. Biasanya di atas mimbar khusus yang hanya diperuntukkan untuk orang-orang khusus. Ini juga salah satu bentuk otoritas. Begitu pikiran sadar kita melihat figur otoritas maka critical factor langsung terpengaruh dan mulai membuka.

Lalu, apa yang digunakan untuk komponen kedua? Benar, sekali. “Pesan” yang disampaikan itu dikutip dari kitab suci, langsung menembus critical factor, dan masuk ke pikiran bawah sadar. “Pesan” ini biasanya dalam bentuk doktrin.

Bagaimana dengan komponen ketiga, message unit overload? Caranya adalah dengan menggunakan repetisi atau emosi. Saat sesuatu “pesan” disampaikan berulang-ulang atau suatu emosi berhasil digugah dan dibuat menjadi intens, baik itu emosi positif maupun negatif, misalnya kebahagiaan karena akan masuk surga atau kengerian dan ketakutan siksa neraka, maka semua unit informasi ini membanjiri pikiran dan menciptakan kondisi overload. Menggugah emosi bisa juga dengan melalui lagu-lagu dengan irama yang lembut dengan syair yang menghanyutkan perasaan atau dengan wangi-wangian tertentu.

Sekarang coba kita lihat ritual doa. Apa yang dilakukan umat sebelum berdoa? Apakah mereka akan ribut, cerita-cerita sendiri, ataukah mereka akan berlutut, diam, hening, dan memusatkan perhatian mereka pada doa yang akan diucapkan? Kondisi pemusatan perhatian ini sebenarnya adalah untuk masuk ke kondisi hipnosis, yang kalau dalam bahasa agama disebut dengan kondisi khusyuk. Setelah pikiran terpusat, hati tenang, barulah doa dibacakan atau diucapkan. Doa yang diucapkan ini sebenarnya adalah sugesti atau afirmasi. Jika doa ini diucapkan sendiri maka ia menjadi auto-suggestion melalui self hypnosis.

Bagaimana doa dengan hanya membaca satu atau dua ayat tertentu dan diulang-ulang? Inipun sama saja. Dengan pemusatan pikiran terhadap doa yang dibacakan akan tercipta kondisi hipnosis.

Bagaimana dengan latihan meditasi dengan objek pernapasan? Bagaimana dengan orang yang melakukan liamkeng atau berlatih meditasi dengan fokus pada suara yang timbul akibat ketukan pada alat bantu tertentu?

Semuanya sama saja. Intinya adalah adanya pemusatan perhatian atau fokus pada sesuatu objek dan adanya repetisi. Semua akan mengakibatkan kondisi overload yang akhirnya akan mengakibatkan kondisi hipnosis.

Banyak orang sangat ingin masuk ke kondisi khusyuk. Namun kondisi ini hanya bisa mereka capai sesekali saja. Tidak bisa diulang sesuai keinginan. Mengapa? Karena kebanyakan kita tidak mengerti mekanisme untuk masuk ke kondisi khusyuk ini. Kita selama ini hanya menggunakan cara trial and error. Ada yang bisa dengan sangat mudah menjadi khusyuk namun ia tidak bisa menjelaskan atau mengajarkan caranya kepada orang lain.

Sulitkah untuk menjadi fokus atau khusyuk? Sama sekali tidak. Justru bila kita tahu caranya kita bisa membuat diri kita khusyuk kapanpun dan di manapun dengan sangat mudah dan cepat.

Banyak orang yang saat berdoa, begitu khusyuknya, sampai merasakan keheningan luar biasa yang disertai perasaan gembira, bahagia, dan damai yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Sungguh pengalaman euphoria spiritual yang sangat luar biasa. Apakah ini ada hubungan dengan kondisi hipnosis? Sudah tentu. Kondisi ini mirip sekali dengan salah satu kondisi hipnosis yang sangat dalam, yang bila kita bisa masuk ke kondisi ini, kita akan merasakan perasaan bahagia, damai, dan luar biasa “enak”. Orang yang berhasil masuk ke kondisi ini biasanya ingin seterusnya berada di kondisi ini karena begitu luar biasanya perasaan mereka.

Kondisi hipnosis jugalah yang sebenarnya digunakan untuk membentuk, membangun, dan memperkuat belief seseorang terhadap doktrin suatu agama. Saat anak masih kecil basically mereka sangat sering berada dalam kondisi hipnosis secara alamiah. Bila doktrin agama diajarkan pada saat anak masih kecil maka efeknya akan sangat kuat.

Mengapa?

Karena saat masih kecil, usia 0 – 3 tahun, anak belum mempunyai critical factor. Saat usia 3 tahun critical factor baru mulai terbentuk dan akan semakin menebal dan kuat pada usia 8 tahun. Critical factor akan benar-benar tebal saat usia 11 tahun dan ke atas.

Agar doktrin benar-benar diyakini kebenarannya, dipegang dengan sangat kuat oleh seseorang maka doktrin ini harus masuk dalam bentuk belief yang dikaitkan dengan emosi yang sangat intens. Dan belief ini bila terus diperkuat , dengan berbagai repetisi, akhirnya menjadi faith atau iman. Berikut saya kutipkan definisi faith dari kamus elektronika Encarta, “Faith: belief or trust: belief in, devotion to, or trust in somebody or something, especially without logical proof” atau “Iman: kepercayaan pada, kepercayaan yang sangat kuat pada seseorang atau sesuatu, biasanya tanpa bukti yang logis.”
Belief yang sudah berhasil dibentuk, dibangun, dan diperkuat akhirnya akan mengkristal menjadi value, yang biasanya menempati level tertinggi dalam hirarki value seseorang. Dan untuk mengubah value ini, sangat-sangat sulit, jika tidak mau dikatakan tidak bisa.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...